Kekuasaan Milik Allâh dan Berasal Dari-Nya
KEKUASAAN MILIK ALLAH DAN BERASAL DARI-NYA
Oleh
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani
Ungkapan di atas merupakan satu kaedah yang sangat penting. Sebab, banyak orang terjun dalam medan dakwah demi memperbaiki umat justru melalaikan kaidah ini dan berusaha menundukkan realita politik yang pahit dengan berbagai langkah yang tidak diperintah syari’at. Hal ini, karena mereka menganggap bahwa (untuk memperbaiki) keadaan yang ada saat ini hanya dibutuhkan kemampuan untuk menyadarkan umat bagaimana seorang penguasa itu dijatuhkan dan memberitahukan kepada mereka tentang keburukan-keburukannya sehingga terputuslah hubungan antara sang penguasa dengan rakyatnya.
Mereka menyatakan, “Bila rakyat telah berhasil dipisahkan dari pemegang kekuasaan, maka berarti kita telah mewujudkan satu langkah awal untuk melakukan perlawanan kepadanya. Dan bila kita sudah memegang kendali kekuasaan, maka kita akan memperbaiki keadaan kaum Muslimin, berlaku adil terhadap rakyat, memperluas kesempatan mendapatkan penghidupan layak bagi rakyat, melumpuhkan kaum munafikin, dan kita padamkan kekuatan musuh Yahudi di Palestina dan kita ambil kembali Andalusia dari tangan bangsa Salibis…”
Apa yang didengungkan di atas memang merupakan tujuan-tujuan yang mulia dan target-target yang bagus. Akan tetapi, persoalan yang terpancang antara kita dan mereka terdapat pada jalan atau metode yang mengantarkan menuju sasaran tersebut. Mereka itu menjadikan masalah besar ini sebagai lahan eksperimen, berkreasi dan menuangkan inovasi baru mereka. Sedangkan kita, Ahlu Sunnah wal Jamaah, telah menemukan jalannya dengan berkomitmen mengikuti petunjuk Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab, kita amat sangat yakin bahwa tidak ada jalan yang benar kecuali jalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku”. [Yûsuf/12:108]
Kita hanya mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam persoalan ini karena kita yakin bahwa Allâh lah satu-satunya Dzat Yang Memutuskan dan Pemberi taufik. Barang siapa menyimpang dari jalan Nabi-Nya, maka tidak akan beruntung selamanya. Jadi, hendaknya mereka itu sadar bahwa segala urusan itu milik Allâh Azza wa Jalla .
Apabila kita merenungi Kitabullah, niscaya kita akan dapati bahwa tiap kali berbicara tentang khilâfah, tamkîn (pemberian tampuk kepemimpinan atau kedudukan) dan mulk (kekuasaan), al-Qur`an selalu mengaitkan semua itu dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya, dalam firman Allâh tentang istikhlâf (pelimpahan tugas sebagai penguasa) :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Dan ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” [Al-Baqarah/2:30].
قَالُوا أُوذِينَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا ۚ قَالَ عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
Musa menjawab, “Mudah-mudahan Allâh membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(-Nya), maka Allâh akan melihat bagaimana perbuatanmu” . [Al-A’râf/7:129]
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa [An-Nûr/24:55].
Tentang tamkîn (pemberian tampuk kepemimpinan atau kedudukan), Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَكُمْ
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. [Al-An’âm/6:6].
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat [Al-Hajj/22:41].
وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ
Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir), dia bisa tinggal dimana saja dia mau [Yûsuf/12:56]
Sedangkan tentang pemberian kekuasaan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ
Dan Allâh memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. [al-Baqarah/2:247].
فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrâhîm, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. [An-Nisâ’/4:54]
Juga firman-Nya saat mengisahkan perkataan Nabi Yûsuf Alaihissallam :
رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ
Ya Rabbku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. [Yûsuf/12:101]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [Ali ‘Imrân/3:26].
Sesungguhnya kesamaan muatan ayat-ayat di atas dalam persoalan kekuasaan, tamkîn dan khilâfah dan penisbatannya kepada Allâh Azza wa Jalla semata benar-benar sudah menjadi bukti adanya rahasia besar yang tersembunyi padanya. Rahasia yang dimaksud ialah poin yang difokuskan oleh para ahli tafsir pada ayat yang terakhir dan menjadikannya sebagai kata kunci dalam persoalan ini. Sebab, redaksinya berbicara tentang takdir. Allâhlah yang menetapkan kekuasaan bagi siapa saja dari hamba-Nya yang Dia kehendaki, yang berjalan di bawah kaedah “Sebagaimana keadaan kalian, begitulah pemimpin kalian” yang ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Sesungguhnya Allâh tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. [Ar-Ra’du/13:11]
(Inilah jalan dan metode kami-red), bukan berjalan di bawah kaedah yang dislogankan oleh para haraki yaitu kudeta militer, pemilihan anggota legislatif, debat parlemen, kesepakatan-kesepakatan politik dan lain-lain berupa perlawanan terhadap penguasa apapun nama yang disematkan dan meskipun mengklaim terdorong motivasi yang bersih.
Sesungguhnya manusia akan diperlakukan dengan lembut dalam perkara ini sesuai dengan komitmennya terhadap agama Allâh Azza wa Jalla. Barangsiapa telah menjadi baik dan melakukan perbaikan, maka Allâh Azza wa Jalla akan memperbaiki kekuasaan yang ia kendalikan. Dan barangsiapa rusak dan melakukan kerusakan, maka kekuasaannya akan mengalami kerusakan, meskipun ia seorang penguasa berstatus politikus ulung dan memiliki pengikut yang paling banyak. Masing-masing akan menuai apa yang ditanam dan memakan dari kelakuan pribadinya. Dan Allâh Maha Meliputi seluruh makhluk-Nya. Hal ini perlu diulas kembali untuk menegaskan bahwa perubahan itu berada di tangan Allâh Azza wa Jalla . Dialah yang mengangkat seorang hamba menjadi pemimpin sesuai dengan kehendak-Nya di atas orang-orang yang dikehendaki-Nya pula.
Untuk itu, orang yang ingin memperbaiki keadaan bila ia sudah tahu bahwa urusan pemberian kekuasaan atau tidak adanya kekuasaan itu tergantung Allâh Azza wa Jalla , maka sudah pasti ia hanya akan memohon pertolongan kepada-Nya, dan mencermati jalan para nabi, lalu mengikuti mereka untuk sampai pada apa yang diinginkannya. Sebab, para nabi adalah sosok manusia suri teladan terbaik yang ma’shûm (terpelihara dari kesalahan) yang telah Allâh pilih. Ini dalam tinjauan syariat. Sedangkan dari tinjauan ketetapan takdir, ia memandang bahwa sesungguhnya Allâh lah yang menetapkan seseorang sebagai penguasa berdasarkan sifat hikmah-Nya yang agung. Oleh karena itu, dahulu para Ulama memandang bahwa usaha menentangnya merupakan bentuk perlawanan terhadap Allâh Azza wa Jalla dalam ketetapan takdir-Nya.
Ibnu Zanjawaih meriwayatkan dalam al-Amwâl (hlm.33) dan Abu ‘Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Wâridatu fil Fitan hlm.144 dari Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya penguasa itu berasal dari ketetapan Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa mempermasalahkan penguasa, berarti ia telah mempermasalahkan ketetapan Allâh Azza wa Jalla ” .
Setelah diketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla yang menetapkan seseorang menjadi penguasa dan mencabut kekuasaan dari seseorang, dan Dia telah mengabarkan akan mengangkat orang shalih sebagai penguasa bagi kaum yang shalih dan mengangkat orang yang buruk kepribadiannya untuk memimpin orang-orang yang berperilaku buruk, maka sesungguhnya usaha orang-orang yang ingin memperbaiki keadaan dengan menjatuhkan para penguasa, sementara kerusakan masih merata di tengah rakyat, maka usaha itu terhitung sebagai langkah tanpa manfaat dan jihad di luar pintunya. Seandainya keadaan rakyat telah baik, maka mereka tidak perlu memikirkan usaha tersebut. Sebab, Allâh Azza wa Jalla tidak akan menetapkan para musuh-Nya untuk menguasai para wali-Nya.
Oleh sebab itu, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahîh (7/272) dari Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah mengatakan, “Hati-hatilah kalian terhadap fitnah-fitnah ini. Tidaklah ada orang yang mencoba mengusiknya kecuali dia akan terjerat dengan kuat. Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu, yaitu para penguasa, ada waktu dan masanya. Seandainya seluruh manusia di muka bumi satu kata untuk meruntuhkan kekuasaan mereka, tidak akan sanggup untuk itu hingga Allâh Azza wa Jalla sendiri yang menghendaki masanya habis. Apakah kalian sanggup meruntuhkan gunung-gunung?!”
Ini sebuah ungkapan agung terkait medan dakwah dan ishlâh. Maka, renungilah dengan baik.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam al-Bidâyah wan Nihâyah tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 430 H, “Pada masa itu, Abu Manshûr bin Jalâl ad-Daulah diseru dengan gelar raja yang perkasa. Ia berdomisili di daerah Wâsith. Si Perkasa ini adalah orang terakhir yang menguasai Baghdad dari Bani Bawaih. Ketika mereka berbuat melampaui batas, membangkang dan jahat, serta mendaulat diri sebagai Rajadiraja, maka Allâh Azza wa Jalla mencabut dari mereka karunia yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan pada mereka, dan mengalihkan kekuasaan pada orang lain.
Ingatlah firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allâh tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [Ar-Ra’du/13:11]
(Diterjemahkan dari kitab Syaikh Abdulmalik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani hafizhahullah yang berjudul Kamâ Takûnû Yuwallâ ‘alaikum)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4125-kekuasaan-milik-allah-dan-berasal-dari-nya.html